MAHATALA - Pelopor, Badai Rimba, Tapak Rimba, Halimun Kumbara, Kumbang Layang, Wana Ranca, Sapta Kelana, Angin Lembah, Rasi Rimba, Panca Wana, Elang Bayu, Banyu Alam, Kabut Bayu, Elang Rawa, Surya Banyu-

Tuesday, January 16, 2007

Gunung Ciremai

span.fullpost {display:none;} span.fullpost {display:inline;}


Gunung Ciremai (atau Ceremai, Cereme, Cerme, Careme) secara administratif termasuk dalam wilayah tiga kabupaten, yakni Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat. Posisi geografis puncaknya terletak pada 6° 53' 30" LS dan 108° 24' 00" BT, dengan ketinggian 3.078 m di atas permukaan laut.
Gunung ini memiliki kawah ganda. Kawah barat yang beradius 400 m terpotong oleh kawah timur yang beradius 600 m. Pada ketinggian sekitar 2.900 m dpl di lereng selatan terdapat bekas titik letusan yang dinamakan Gowa Walet.

Kini G. Ciremai termasuk ke dalam kawasan (calon) Taman Nasional Gunung Ciremai, yang memiliki luas total sekitar 15.000 hektare.
* 1 Vulkanologi dan geologi
* 2 Jalur pendakian
* 3 Keanekaragaman hayati
o 3.1 Vegetasi
o 3.2 Margasatwa

Vulkanologi dan geologi

Gunung Ciremai termasuk gunungapi Kuarter aktif, tipe A (yakni, gunungapi magmatik yang masih aktif semenjak tahun 1600), dan berbentuk strato. Gunung ini merupakan gunungapi soliter, yang dipisahkan oleh Zona Sesar Cilacap – Kuningan dari kelompok gunungapi Jawa Barat bagian timur (yakni deretan Gunung Galunggung, Gunung Guntur, Gunung Papandayan, Gunung Patuha hingga Gunung Tangkuban Perahu) yang terletak pada Zona Bandung.
Ciremai merupakan gunungapi generasi ketiga. Generasi pertama ialah suatu gunungapi Plistosen yang terletak di sebelah G. Ciremai, sebagai lanjutan vulkanisma Plio-Plistosen di atas batuan Tersier. Vulkanisma generasi kedua adalah Gunung Gegerhalang, yang sebelum runtuh membentuk Kaldera Gegerhalang. Dan vulkanisma generasi ketiga pada kala Holosen berupa G. Ciremai yang tumbuh di sisi utara Kaldera Gegerhalang, yang diperkirakan terjadi pada sekitar 7.000 tahun yang lalu (Situmorang 1991).
Letusan G. Ciremai tercatat sejak 1698 dan terakhir kali terjadi tahun 1937 dengan selang waktu istirahat terpendek 3 tahun dan terpanjang 112 tahun. Tiga letusan 1772, 1775 dan 1805 terjadi di kawah pusat tetapi tidak menimbulkan kerusakan yang berarti. Letusan uap belerang serta tembusan fumarola baru di dinding kawah pusat terjadi tahun 1917 dan 1924. Pada 24 Juni 1937 – 7 Januari 1938 terjadi letusan freatik di kawah pusat dan celah radial. Sebaran abu mencapai daerah seluas 52,500 km bujursangkar (Kusumadinata, 1971). Pada tahun 1947, 1955 dan 1973 terjadi gempa tektonik yang melanda daerah baratdaya G. Ciremai, yang diduga berkaitan dengan struktur sesar berarah tenggara – barat laut. Kejadian gempa yang merusak sejumlah bangunan di daerah Maja dan Talaga sebelah barat G. Ciremai terjadi tahun 1990 dan tahun 2001. Getarannya terasa hingga Desa Cilimus di timur G. Ciremai.
Jalur pendakian
Puncak gunung Ciremai dapat dicapai melalui banyak jalur pendakian. Akan tetapi yang populer dan mudah diakses adalah melalui Desa Palutungan dan Desa Linggarjati di Kab. Kuningan, dan Desa Apuy di Kab. Majalengka. Satu lagi jalur pendakian yang jarang digunakan ialah melalui Desa Padabeunghar di perbatasan Kuningan dengan Majalengka di utara. Di kota Kuningan terdapat kelompok pecinta alam "Akar" yang dapat membantu menyediakan berbagai informasi dan pemanduan mengenai pendakian Gunung Ciremai.

Keanekaragaman hayati

Vegetasi

Hutan-hutan yang masih alami di Gunung Ciremai tinggal lagi di bagian atas. Di sebelah bawah, terutama di wilayah yang pada masa lalu dikelola sebagai kawasan hutan produksi Perum Perhutani, hutan-hutan ini telah diubah menjadi hutan pinus (Pinus merkusii), atau semak belukar, yang terbentuk akibat kebakaran berulang-ulang dan penggembalaan. Kini, sebagian besar hutan-hutan di bawah ketinggian … m dpl. dikelola dalam bentuk wanatani (agroforest) oleh masyarakat setempat.
Sebagaimana lazimnya di pegunungan di Jawa, semakin seseorang mendaki ke atas di Gunung Ciremai ini dijumpai berturut-turut tipe-tipe hutan pegunungan bawah (submontane forest), hutan pegunungan atas (montane forest) dan hutan subalpin (subalpine forest), dan kemudian wilayah-wilayah terbuka tak berpohon di sekitar puncak dan kawah.
Lebih jauh, berdasarkan keadaan iklim mikronya, LIPI (2001) membedakan lingkungan Ciremai atas dataran tinggi basah dan dataran tinggi kering. Sebagai contoh, hutan di wilayah Resort Cigugur (jalur Palutungan, bagian selatan gunung) termasuk beriklim mikro basah, dan di Resort Setianegara (sebelah utara jalur Linggarjati) beriklim mikro kering.
Secara umum, jalur-jalur pendakian Palutungan (di bagian selatan Gunung Ciremai), Apuy (barat), dan Linggarjati (timur) berturut-turut dari bawah ke atas akan melalui lahan-lahan pemukiman, ladang dan kebun milik penduduk, hutan tanaman pinus bercampur dengan ladang garapan dalam wilayah hutan (tumpangsari), dan terakhir hutan hujan pegunungan. Sedangkan di jalur Padabeunghar (utara) vegetasi itu ditambah dengan semak belukar yang berasosiasi dengan padang ilalang. Pada keempat jalur pendakian, hutan hujan pegunungannya dapat dibedakan lagi atas tiga tipe yaitu hutan pegunungan bawah, hutan pegunungan atas dan vegetasi subalpin di sekitar kawah. Kecuali vegetasi subalpin yang diduga telah terganggu oleh kebakaran, hutan-hutan hujan pegunungan ini kondisinya masih relatif utuh, hijau dan menampakkan stratifikasi tajuk yang cukup jelas.

Margasatwa

Keanekaragaman satwa di Ciremai cukup tinggi. Penelitian kelompok pecinta alam Lawalata IPB di bulan April 2005 mendapatkan 12 spesies amfibia (kodok dan katak), berbagai jenis reptil seperti bunglon, cecak, kadal dan ular, lebih dari 95 spesies burung, dan lebih dari 20 spesies mamalia.

Beberapa jenis satwa itu, di antaranya:

o Bangkong bertanduk (Megophrys montana)
o Percil Jawa (Microhyla achatina)
o Kongkang Jangkrik (Rana nicobariensis)
o Kongkang kolam (Rana chalconota)
o Katak-pohon Emas (Philautus aurifasciatus)
o Bunglon Hutan (Gonocephalus chamaeleontinus)
o Cecak Batu (Cyrtodactylus sp.)
o Elang Hitam (Ictinaetus malayensis)
o Elang Brontok (Spizaetus cirrhatus)
o Elang Jawa (Spizaetus bartelsi)
o Puyuh-gonggong Jawa (Arborophila javanica)
o Walet Gunung (Collocalia vulcanorum) [masih perlu dikonfirmasi]
o Takur Bultok (Megalaima lineata)
o Takur Tulung-tumpuk (Megalaima javensis)
o Berencet Kerdil (Pnoepyga pusilla)
o Anis Gunung (Turdus poliochepalus)
o Tesia Jawa (Tesia superciliaris)
o Ceret Gunung (Cettia vulcania)
o Kipasan Ekor-merah (Rhipidura phoenicura)
o Burung-madu Gunung (Aethopyga eximia)
o Burung-madu Jawa (Aethopyga mystacalis)
o Kacamata Gunung (Zosterops montanus)
o Tenggiling (Manis javanica)
o Tupai kekes (Tupaia javanica)
o Kukang (Nycticebus coucang)
o Lutung Surili (Presbytis comata)
o Lutung Budeng (Trachypithecus auratus)
o Ajag (Cuon alpinus)
o Teledu Sigung (Mydaus javanensis)
o Kucing Hutan (Prionailurus bengalensis)
o Macan Tutul (Panthera pardus)
o Kancil (Tragulus javanicus)
o Kijang (Muntiacus muntjak)
o Jelarang Hitam (Ratufa bicolor)
o Landak Jawa (Hystrix javanica)


Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

No comments:

 

Free Blog Counter

Blogger